Rabu, 30 Juli 2014

[001] Masih Aku

Kenalkan, namaku Joko, Joko Rantos. Aku adalah seorang anak laki-laki biasa yang terlahir dari keluarga biasa-biasa saja.

Aku lahir dan besar di sebuah kota kecil di Jawa Timur, Nganjuk. Aku lahir dengan bantuan bidan dua puluh enam tahun yang lalu. Tidak ada yang spesial.

Aku adalah anak lelaki yang dinanti-nanti oleh ayah dan ibuku. Ya, semenjak perkawinan mereka dan terlahir kakakku perempuan, cukup lama mereka menunggu sampai akhirnya kelahiranku. Itulah sebabnya aku dinamai Rantos, yang berarti ditunggu.

Aku bungsu dari dua bersaudara. Anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga. Anak paling tampan dalam keluarga. Dan, ak sudahlah. Anda sudah mengertilah kelanjutannya.

Sebagai anak bungsu tentulah aku selalu diinginkan dekat dengan orang tua. Sebagian besar orang bilang, dimanja. Namun hal demikian tidak berlaku padaku. Karena selain anak bungsu aku adalah anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga yang harus mampu membawa nama keluarga.

Ayahku selalu mengarahkanku dalam segala sisi hidupku. Aku menjadi seperti sekarang ini adalah karena andil ayah. Ayahku menunjukkan kemana aku akan bersekolah, setelah lulus akan melanjutkan kemana, bahkan prospek masa depan atas pilihan-pilihan yang ada. Dan aku tahu ini adalah yang terbaik bagiku diantara pilihan-pilihan yang lain. Menjadi garda terdepan penyokong anggaran keuangan negeri ini.

Ibuku sangat menyayangiku begitupun aku sangat menyayanginya. Sebagai anak laki-laki aku pernah berkeinginan untuk mengenal dunia dengan mencoba untuk mengambil beasiswa ke luar negeri, saat itu aku ingin berangkat mengunjungi kedutaan besar Belanda atau Jerman untuk mencari informasi. Namun keinginanku itu aku urungkan karena pertimbangan rasa sayang beliau yang tak ingin kehilangan kontak dengan anak laki-lakinya satu-satunya dalam beberapa tahun. Yah, itulah seorang ibu. Dan akhirnya aku mengambil alternatif terbaik yang ditunjukkan oleh ayahku.

Prestasiku? Aku adalah seorang anak yang dikaruniai kepandaian, namun mudah tertimpa bosan. Selama pendidikan dasar, aku tak pernah turun dari posisi puncak, bahkan menjadi putra teladan tingkat kecamatan dan juara dua tingkat kabupaten.

Lalu? Yah, seperti yang aku bilang. Aku mudah tertimpa bosan. Memasuki jenjang yang lebih tinggi kebosanan yang menimpaku membuat prestasiku menurun. Hobi dan aktivitasku adalah urutan teratas yang mengalihkan perhatianku.

Di masa pendidikan menengah aku menekuni olah raga basket juga pernah mencoba billiard. Aku setiap sore bermain basket. Yang parah adalah aku mengenal billiard saat menjelang ujian nasional, dan setiap sepulang ujian aku tidak langsung pulang ke rumah melainkan ke tempat billiard.

Selain olah raga aku juga memiliki hobby mengotak-atik peralatan elektronik. Yang paling keren menurutku adalah saat membuat stasiun pemancar radio sendiri, meski jangkauannya hanya seputar kotaku saja.

Semua aktivitas olah raga dan hobby elektronikku lama kelamaan juga memasuki batas kebosanan. Dan perhentian berikutnya adalah komputer dan jaringan internetnya.

Aku mengenal komputer dari ekskul sekolah yang bekerja sama dengan pihak swasta. Ketika yang lain bingung mempelajari perintah DOS aku mendahului mereka dan menjadi tertarik dengan batch file.

Aku dan komputer semakin tak terpisahkan di jenjang menengah atas. Yang ada di otakku adalah eksplorasi segala bidang dan data melalui komputer dan jaringan internetnya. Dari yang baik dilakukan hingga yang tidak seharusnya dilakukan.

Tidak seharusnya dilakukan? Ya, aku pernah memburu data yang tidak seharusnya dicari, cc. Ya, kartu kredit. Data kartu kredit pernah menjadi buruanku dimasa awal perkembangan situs-situs komersial dengan bugs dan exploitnya. Hasilnya menjadi bahan berbagi di irc bersama teman-teman.

Dan, sampai saat ini hanya satu yang menjadi peganganku. Tidak ada batasan akses data di internet. Sekali data di publish akan tersebar dan tersimpan selamanya.

Dan sekarang, inilah aku. Sang pemburu.

Selasa, 29 Juli 2014

[000] Aku

Sudah lama aku mengurung diri dengan segala kesibukan. Sibuk dengan pekerjaan dan tugas yang menjadi bebanku. Sepanjang menjalankan pekerjaan dan tugasku, aku hanya menjalankannya sampai agar selesai dan dipandang baik. Aku melakukannya tanpa mengambil bagian penting yang mendasari aku menjalankan semuanya. Dan sekarang, aku kehilangan empati dan simpati.

Aku tahu sebabnya. Aku sadar kerugian yang aku tanggung dengan sikapku ini. Tapi apakah perubahan harus aku lakukan segera?

Posisiku sekarang tak mengharuskanku memperbaiki ini semua. Pekerjaankupun tidak.

Dalam tekanan yang ada dalam hidupku saat ini tak ada gunanya memfokuskan diri menjaga moral dan menjaga perasaan. Toh, para pemimpinku masih saja menjaga kesimpangsiuran ketegasan dan arah kegiatan. Apalagi peraturan dan kebijakan yang ada membuatnya makin kacau. Belum lagi, iklim politik semakin membuatnya tidak jelas.

Aku. Aku adalah seorang workaholic. Orang lain boleh pulang tepat waktu. Tapi aku, tidak.

Memang terkadang ada rasa iri ketika melihat barisan rekan-rekan yang lain saat jam pulang. Tapi sering sambil melihat mereka, muncul pertanyaan "apakah ini sebanding?".

Bukan hanya masalah waktu. Terkadang muncul pula benih-benih disintegritas. Namun masih bisa aku redam hingga kini.

Mungkin benih-benih ini muncul akibat dendam yang tanpa kusadari menyala dalam diriku. Empati dan simpati telah lama tak kudengar untukku dan institusiku.

Aku? Ya.

Aku tak perlu menceritakan semua kan?

Siapa aku pun tak perlu kalian cari. Aku tak punya andil apa-apa dalam hidup kalian.

Institusi? Ah, sudahlah. Ini cuma pencitraanku saja.

Ini adalah tentang aku dan kemuakanku. Tak ada yang lain selain kebencian. Semua hal yang membentukku. Menjadi senjataku sebagai seorang tim pemburu.